lembaga pbb yang berwenang mengadili pelanggaran ham internasional adalah
KomnasHAM RI. Komnas HAM adalah lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia. Jalan Latuharhari No. 4B, Kelurahan Menteng, Jakarta Pusat 10310, Indonesia +62-21-3925230 +62-21-3925227; info@komnasham.go.id
Bacajuga: Sejarah Berdirinya PBB. Majelis Umum. Majelis atau Sidang Umum PBB adalah badan utama PBB. Anggotanya adalah seluruh anggota PBB, saat ini berjumlah 193 negara. Setiap bulan September, seluruh anggota PBB bertemu di General Assembly Hall di Markas PBB di New York untuk sidang dan debat.
HakAsasi Manusia Internasional. Setiap negara pastinya memiliki aturan untuk melindungi masyarakatnya, salah satu yang jadi acuan adalah hukum tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Seperti di Indonesia, yang punya landasan hukum tentang hal itu pada beberapa pasal di dalam UUD 1945 dan UU Nomor 39 Tahun 1999. Di dunia, juga ada landasan hukum yang
Lembagapbb yg berwenang mengadili pelanggaran ham internasiaonal adalah - 20063517 fatih5064 fatih5064 30.11.2018 PPKn Sekolah Menengah Pertama terjawab Keduanya adalah pemimpin Serbia yang dianggap paling bertanggung jawab dalam pembersihan etnik (etnic cleansing) terhadap orang-orang Kroasia dan Bosnia-Herzegovina yang hendak memisahkan
Hanyamengadili pelanggaran HAM berat. 2. Kejahatan universal. Pengadilan HAM berwenang mengadili pelanggaran HAM berat yang dilakukan di luar batas teritorial RI oleh warga negara Indonesia. 3. Genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan saja yang diadili oleh Pengadilan HAM. 4. Jaksa Agung adalah penyidik dan penuntut umum. 5.
Vergebener Mann Will Sich Mit Mir Treffen. Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang dimiliki setiap manusia atau setiap individu. Namun pelaksanaannya, sifat-sifat hak asasi manusia berhubungan dengan orang lain. Apalagi penduduk di dunia semakin banyak dengan berbagai kebutuhan dan kepentingan. Tentu saja akan banyak terjadi hal-hal yang tidak sesuai dengan HAM itu instrumen HAM di dunia atau yang diakui secara internasional adalah piagam PBB yang menandai berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1945 dan Universal Declaration of Human Rights. Dari sana, kemudian terbentuk berbagai lembaga HAM Internasional yang melaksanakan, mengawasi pelaksanaan Ham dan mengadili pelanggarannya. Lembaga-lembaga HAM tersebut dibentuk oleh PBB. Lembaga HAM Internasional tersebut antara lain Majelis Umum PBB, majelis Umum PBB adalah organisasi PBB yang mempunyai anggota dari seluruh anggotanya. Dalam kaitannya dengan HAM, Majelis Umum berwewenang membuat rekomendasi dan resolusi. Di antaranya adalah menghasilkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan membentuk Dewan Hak Asasi Ekonomi dan Sosial, dewan Ekonomi dan Sosial termasuk dalam organisasi PBB yang bertugas dalam perkembangan ekonomi, HAM, dan kriminal. Badan ini menerima dan menerbitkan laporan Ham dari berbagai negara dengan berbagai Hak Asasi Manusia, dewan Hak Asasi Manusia adalah badan tambahan dari Majelis Uum PBB. Tugas Dewan ini adalah melakukan tindak lanjut terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di Komisi Pengenalan dan Perlindungan HAM, sub Komisi Pengenalan dan Perlindungan HAM ini berada di bawah Dewan HAM. Tugas komisi ini adalah melakukan penelitian terhadap pelanggaran HAM Internasional dan melakukan penelitian atas perlakuan yang tidak HAM, salah satu lembaga penting HAM internasional yang berada di bah Dewan Ekonomi dan Sosial. Komisi ini bertugas menerima dan mempertimbangkan pengaduan yang datang dari setiap individu yang merasa hak asasinya telah dilanggar, khususnya HAM yang dikemukakan dalam Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik. Tentu saja individu yang dapat melakukan pengaduan adalah individu yang negaranya telah meratifikasi konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, ini mempunyai peran mengawasi pelaksanaan dan pengaduan terhadap pelanggaran HAM sesuai dengan Konvensi Internasional Penghapusan Bentuk Diskriminasi terhadap Diskrimanasi Rasial, komisi ini yang memantau pelaksaan HAM dan menerima pengaduan diskriminasi Hak-Hak Anak, komisi Hak-Hak Anak sesuai dengan namanya, bertugas memantau pelaksanaan dan menerima pengaduan individu terkait dengan Konvensi Hak-Hak HAM InternasionalDengan telah terbentuknya Instrumen HAM Internasional dan diikuti dengan contoh lengkap instrumen HAM nasional dari berbagai negara, semua manusia di muka bumi tentu saja berharap pelaksanaan HAM akan berjalan lancar dan adil. Apalagi kemudian banyak konvensi internasional HAM yang diakui dan diratifikasi oleh berbagai negara. Lembaga perlindungan HAM internasional dan nasional mulai pada pelaksanannya tetap masih banyak terjadi penyimpangan dan pelanggaran hak asasi manusia. Contoh pelaksanaan HAM internasional, erat kaitannya dengan pelanggaran HAM itu sendiri. Contoh pelaksanaan HAM internasional terkait dengan pelanggraannya dapat dilihat di bawah ini dan dibagi menjadi 4 jenis pelanggaran GenosidaKejahatan genosida adalah segala tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk menghancurkan atau memusnahkan keseluruhan atau sebagian bangsa, ras, etnis, dan agama tertentu dengan berbagai cara yang melanggar HAM. Kasus pelanggaran HAM yang termasuk golongan ini termasuk paling banyak terjadi. Kejahatan genosida dilakukan dengan membunuh, mengakibatkan penderitaan fisik berat terhadap anggota kelompok, menciptakan kondisi yang memusnahkan kelompok secara fisik, mencegah kelahiran di kelompok dengan tindakan pemaksaan, dan memindahkan anak-anak secara paksa ke kelompok genosida sudah terjadi ratusan tahun yang lalu. Seperti pembantaian bangsa Kanaan oleh Bangsa Yahudi pada millennium pertama sebelum Masehi dan pembantaian bangsa Helvetia oleh Julius Caesar pada abad ke 1 SM. Sementara beberapa contoh kejahatan genosida saat ini adalah Pembantaian Bangsa Armenia oleh beberapa kelompok Turki pada akhir perang Dunia orang Yahudi, orang Gipsi Sinti dan Roma dan suku bangsa Slavia oleh Nazi pimpinan Hitler di Jerman pada Perang Dunia My Lai di Vietnam pada 16 Maret Guatemala bernama Efrain Rios Montt pada sekitar tahun 1982 telah membunuh lebih dari 75 ribu orang Indian. Pembantaian suku Hutu dan Tutsi oleh Pemrintah Rwanda sekitar tahun Shabra dan Shatila di Beirut, negara Lebanon pada September oleh orang-orang Yahudi terhadap rakyat Palestina yang sampai saat ini masih terjadi, meskipun banyak dikecam yang terjadi pada Bangsa Bosnia Herzegovina yang bermukim di Kota Srebenica dan kebanyakan muslim oleh orang-orang Serbia Yugoslavia pada perang keduanya yang terjadi padan sekitar tahun 1992 hingga etnis Rohingya yang mayoritas muslim di Myanmar yang sampai saat ini masih Terhadap KemanusiaanKejahatan kemanusiaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari perang tetapi ditujukan terhadap penduduk sipil. Kejahatan ini dapat meliputi pembunuhan, perusakan, perbudakan, pengusiran penduduk, perampasan kemerdekaan, perkosaan dan perbudakan seksual termasuk pemaksaan kehamilan, penganiayaan, dan kejahatan apharteid. Contoh pelanggaran HAM yang termasuk golongan ini adalah Kejahatan apharteid yang berlangsung di Afrika Selatan yang berlangsung sejak tahun 1948, di mana warga negara yang berkulit putih lebih diutamakan dibandingkan kulit berwarna dan kulit hitam. Hak-hak yang berbeda ini baru disamakan setelah pemerintah Afrika Selatan yang baru pimpinan Nelson rakyat yang banyak dilakukan oleh pemerintah komunis Khmer Merah di banyak rakyat Uganda dan berbagai kejahatan kemanusiaan lain yang terjadi sampai sekitar tahun 2005 oleh kelompok pemberontak pimpinan Joseph dengan namanya, invasi adalah pelanggaran HAM oleh suatu kekuatan militer terhadap negara atau bangsa lain. Invasi termasuk pelanggaran HAM karena berarti mengambil hak kemerdekaan dan lain-lain warga negara yang dimasukinya. Contoh tindakan invasi yang terjadi setelah Perang Dunia Ke II antara lain Invasi Irak ke IranInvasi Amerika Serikat beserta para sekutunya ke IrakInvasi Uni Sovyet ke Afganistan tahun 1979 dan berakhir tahun 1989Kejahatan PerangKejahatan perang adalah semua tindakan yang dilakukan dalam cakupan hukum internasional ketika terjadi perang oleh satu orang atau sekelompok militer dan sipil terhadap sekelompok orang atau sipil. Umumnya yang didakwa sebagai penjahat perang adalah pimpinan yang melakukan aksi tersebut. Beberapa kepala negara dan pemerintahan yang diajukan sebagai penjahat perang, antara Karl Donitz dari Jerman, Mantan Presiden Liberia Charles Taylor, Mantan Presiden Irak Saddam Hussein, dan Mantan Presiden Yugoslavia Slobodan beberapa contoh pelakasanaan HAM internasional yang diidentikan dengan pelanggaran. Penulis menuliskan hal tersebut dengan keyakinan bahwa diluar contoh di atas pelaksanaan HAM di seluruh dunia berjalan baik. Semoga bermanfaat.
Pembentukan pengadilan pidana internasional merupakan sarana penyelesaian pelanggaran berat hak asasi manusia. Dasar pembentukannya melalui statuta Roma yang berwenang memeriksa beberapa jenis kejahatan seperti genosida, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan agresi. Kehadiran pengadilan pidana internasional juga mengubah pola penegakan hukum pidana internasional yang semula indirect enforcement menuju pada model direct enforcement. Jika dikaitkan dengan konteks Indonesia maka keberadaan pengadilan pidana internasional akan mendukung sepenuhnya proses pelanggaran hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Volume 7 No. 1, April 2019E-ISSN 2477-815X, P-ISSN 2303-3827Nationally Accredited Journal, Decree No. 30/E/KPT/2018open access at work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike International LicenseDOI PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT MELALUI MEKANISME PENGADILAN NASIONAL DAN PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL THE RESOLUTION OF GROSS HUMAN RIGHTS VIOLATIONS THROUGH MECHANISM NATIONAL COURTS AND INTERNATIONAL CRIMINAL COURTS Ufran Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Email ufrantrisa establishment of International Criminal Court ICC is a pivotal solution to address gross violations of human rights. Rome statute, a fundamental formation, has the authority to investigate several types of crimes such as, genocide, war crimes, crimes against humanity, and the crime of aggression. The existence of ICC has been modifying the enforcement of international criminal law from indirect enforcement to direct enforcement. Regarding to the Indonesian context, the ICC will fully support the process of human rights violations which regulated in Act number 26, in 2000 concerning the Human Rights words Violations of Human Rights, International Criminal pengadilan pidana internasional merupakan sarana penyelesaian pelanggaran berat hak asasi manusia. Dasar pembentukannya melalui statuta Roma yang berwenang memeriksa beberapa jenis kejahatan seperti genosida, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan agresi. Kehadiran pengadilan pidana internasional juga mengubah pola penegakan hukum pidana internasional yang semula indirect enforcement menuju pada model direct enforcement. Jika dikaitkan dengan konteks Indonesia maka keberadaan pengadilan pidana internasional akan mendukung sepenuhnya proses pelanggaran hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi kunci Pelangaran Hak Asasi Manusia, Pengadilan Pidana Internasional PENDAHULUANTerjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang meluas, pengabaian memang seharusnya bukan merupakan pilihan, sekalipun upaya menyelesaikan masa lalu tidaklah Dalam situasi tersebut, penyelesaian melalui proses hukum merupakan satu kata kunci untuk menghapus praktek kekebalan hukum. Mengadili para pelaku yang terlibat dalam pelanggaran HAM berat merupakan prasyarat suatu negara menuju kepada pemerintahan demokratis yang melindungi dan menghormati pelaksanaan hak-1 Karlina Leksono Supeli, Tidak Ada Jalan Pendek Menuju Rekonsiliasi, Jurnal Demokrasi dan HAM, Vol. 1, No. 3, Maret-Juni 2001, hlm. 9 171 Kajian Hukum dan Keadilan IUSP-ISSN 2303-3827, E-ISSN 2477-815Xhak asasi manusia. Upaya untuk memajukan perlindungan hak asasi manusia tersebut tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial politik Indonesia pada masa Indonesia harus mengakomodasi kecenderungan global dalam demokratisasi dan hak asasi Tidak akan ada demokrasi tanpa adanya pengakuan terhadap hak-hak kebebasan sipil dan politik bagi warganya. Hal tersebut menggambarkan semacam korespondensi antara hak asasi manusia dan perkembangan Oleh karena itu, dalam rezim pemerintahan demokratis beberapa instrumen hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh legislasi nasional maupun yang meratifikasi beberapa instrument internasional juga mulai diberlakukan. Perhatian untuk memajukan perlindungan HAM tercantum secara eksplisit dalam beberapa peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Convention Against Torture And Other Cruel, Inhuman Or Degrading Treatment Or Punishment Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia.5 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 Tentang Pengesahan International Convention On The Elimination Of All Forms Of Racial Discrimination 1965 Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965.6 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat dan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang satu pranata hukum yang mempunyai peranan penting dalam rangka implementasi hak asasi manusia adalah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Peraturan perundang-undangan tersebut untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat sesuai dengan ketentuan Pasal 104 ayat 1 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Selain itu juga lahirnya undang-undang ini adalah pengganti dan sekaligus mencabut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang dinilai tidak lahirnya UU No. 26 Tahun 2000 tersebut, pemerintah seolah ingin mengubah citra buruk di mata internasional selama ini bahwa Indonesia enggan menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran berat HAM yang pernah terjadi di masa lalu. Bahkan keberadaan peraturan perundang-undangan tersebut dianggap sebagai upaya nyata Indonesia untuk menghindari campur tangan internasional dalam urusan domestik 2 Realitas-realitas politik yang kemudian melahirkan tekanan domestik untuk memberikan per-lindungan HAM tersebut seperti adanya politisasi ideology dan otonomi Negara, politik represif orde baru dan pelanggaran HAM, konstruksi politik Negara yang otoriter, HAM sebagai isu budaya barat, Kondisi-kondisi tersebut melahirkan resistensi dan perlawanan dari masyarakat khususnya elemen pro-demokrasi untuk memaksa rezim yang berkuasa untuk menjamin dan menghormati adanya hak asasi manusia. Marcus Priyo Gunarto, Perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia dalam Dinamika Global, Jurnal Mimbar Hukum Vol 19, Nomor 2 Juni 2007, hlm. 260-264. 3 Abu Rokhmad, Hak Asasi Manusia Dan Demokrasi Di Era Globalisasi Menuju Promosi dan Perlind-ungan Hak Asasi Manusia Generasi Kedua, Jurnal Hukum, Vol. XV, No. 3, Desember 2005, Hlm. 4964 Satjipto Rahardjo, Hak Asasi Manusia dalam Masyarakatnya, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 7, Ma-ret 2004, hlm15 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di dalam sidangnya pada tanggal 10 Desember 1984 telah menyetujui Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak-Manusi-awi Atau Merendahkan Martabat Manusia dan Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani konvensi tersebul pada tanggal 23 Oktober Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa dalam sidangnya pada tanggal 21 Desember 1965 tel-ah menerima secara baik International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimina-tion Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial dengan Resolusi 2106A XX; Jurnal IuS Vol VII Nomor 1 April 2019 hlm, 172 Kajian Hukum dan Keadilan IUS172~181terkait dengan kejahatan kemanusiaan. Pendapat tersebut juga sejalan pernyataan Erlis S Nurbani, bahwa dengan mengadili sendiri pelaku kejahatan HAM berat diharapkan dapat mengurangi intensitas perhatian masyarakat internasional terhadap kejahatan-kejahatan HAM berat khususnya yang terjadi di Timor-Timor pasca jajak sisi lain, pemerintah sampai saat ini belum mau meratifikasi Statuta Roma yang menjadi dasar pendirian International Criminal Court. ICC ini sendiri adalah pengadilan internasional permanen yang menuntut orang-orang yang dituduh melakukan kejahatan serius di tingkat Berwenang mengadili kejahatan paling serius yang terdiri dari empat jenis, yaitu kejahatan genosida the crime of genocide, kejahatan terhadap kemanusiaan crimes against humanity, kejahatan perang war crimes, dan kejahatan agresi the crime of aggression.Berdasarkan pada uraian latar belakang tersebut di atas, maka artikel ini akan membatasi pembahasan pada perkembangan mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM berat. Latar belakang pembentukan ICC International Criminal Court serta bagaimana hubungan relasional lahirnya Undang-Undang No 26 tahun 2000 dengan lahirnya Statuta Roma 1998 dalam rangka penyelesaian pelanggaran HAM Pengadilan Hak Asasi Manusia Perkembangan peradilan dan pengadilan HAM tidak terlepas dari pemahaman terhadap hukum pidana internasional international criminal law, merupakan hukum yang banyak berkaitan dengan pengaturan tentang kejahatan internasional. Oleh karena itu, menurut Kittichaisaree, hukum pidana mencakup dua dimensi pemahaman yaitu the penal aspects of international law termasuk hukum melindungi korban konflik bersenjata international humanitarian law dan dilain pihak, merupakan the international aspect of national criminal Berkaitan dengan tindak pidana internasional Bassiouni berpendapat bahwa suatu perbuatan melawan hukum internasional dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana internasional kriminalisasi, apabila memenuhi tiga faktor, yaitua the prohibited conduct affect a significent international interest; b the prohibited conduct constitutes an egregious conduct deemed offensive to the common values of the world community; c the prohibited conduct involves more than one state in its planing, preparation, or commision either through the deversity of nationality of its preparators or victims, or because the means employed trenced national boundaries, or because the effects of conduct bear upon an internationally protected interest which not sufficient to fall into either a or b but which requires international criminalization in order to ensure international cooperation for its effective prevention, control and 7 Erlies S. Nurbani, Kewajiban Indonesia Berdasarkan Ketentuan yang Bersamaan Konvensi Jenewa 1949, Jurnal Hukum Jatiswara, Vol. 33 November 2018, hlm. Gwen P. Barnes, The International Criminal Court’s Ineffective Enforcement Mechanisms The Indict-ment of President Omar Al Bashir, Fordham International Law Journal, Volume 34, Issue 6, 2011. hlm. 1588. 9 Muladi, Peradilan Hak Asasi Manusi Dalam Konteks Nasional Dan Internasional, makalah, tanpa tahun, 110 Bassiouni, International Criminal Law Crimes, Vol. Transnational Publisher, Inc., New York, 1986, 173 Kajian Hukum dan Keadilan IUSP-ISSN 2303-3827, E-ISSN 2477-815XTerkait adanya international crimes tersebut maka tantangannya adalah masalah penegakannya. Penegakan hukum pidana internasional mengunakan dua pendekatan, pertama adalah pendekatan tradisional indirect control dan kedua, pendekatan modern direct control.11 Pendekatan tradisional indirect control yaitu penegakan hukum pidana internasional melalui peradilan nasional domestic/ local remedies. Pendekatan jenis ini menggunakan instrumen hukum dan institusi nasional, yaitu penerapan domestic jurisdiction berdasarkan lembaga yurisdiksi sebagai perwujudan dari kedaulatan negara. Berbeda dengan pendekatan tradisional maka pendekatan modern yaitu penegakan hukum pidana internasional melalui instrumen atau institusi hukum internasional atau melalui forum pengadilan internasional. Forum pengadilan internasional baru diterapkan terhadap tindak pidana internasional tertentu dan bersifat ad hoc. Misalnya pengadilan terhadap penjahat perang pada waktu perang dunia kedua yaitu mahkamah militer nuremburg Military International Tribunal/ Nuremburg Incichment dan mahkamah tokyo piagam mahkamah militer internasional untuk timur jauh Charter Of International Military Tribunal For The Far East, International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia ICTY, serta International Criminal Tribunal for Rwanda ICTR, sedangkan mahkamah peradilan internasional yang permanen adalah International Criminal Court ICC. 1. Lahirnya International Criminal CourtMahkamah Pidana Internasional International Criminal Court-ICC didirikan berdasarkan Statuta Roma yang diadopsi pada tanggal 17 Juli 1998 oleh 120 negara yang berpartisipasi dalam “United Nations Diplomatic Conference on Plenipotentiaries on the Establishment of an International Criminal Court” di kota Roma, awalnya usaha untuk membentuk pengadilan pidana internasional merupakan topik yang secara intensif didiskusikan dalam simposium yang diselenggarakan oleh the international Association of Penal law dalam kerangka the fifth UN Congress on the Prevention of Crime and The Treatment of Offenders yang diselenggarakan di jenewa tanggal 5 September 1975. Pada saaat dibahas tinjauan historis bahwa proposal pertama sudah diajukan pada tahun Banyak kemajuan dicapai sejak 1992, di mana Majelis Umum menanyakan kembali kepada ILC mengenai pengerjaan draft statuta, tapi banyak negara-negara kembali skeptis, dan ada beberapa yang menentang. Debat dalam ILC dimana dilakukan diseluruh putaran hingga Kemudian puncak perkembangan ICC tersebut yaitu pada United Nations diplomatic Conference of Plenipotentiaries on The establishment of an International Criminal Court15 di Roma Italia telah mensahkan Statute for International Criminal Court. Konferensi tersebut telah mensahkan Statuta Roma melalui voting dengan perbandingan suara 120 setuju, 7 menolak, dan 21 abstain termasuk indonesia. Statuta ini dinyatakan berlaku apabila telah diratifikasi oleh setidak-tidaknya 60 Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional pada Pasal 5 Statuta mengatur kewenangan untuk mengadili kejahatan paling serius yang mendapatkan perhatian 11 Oentoeng Wahjoe, Pengadilan Hak Asasi Manusia HAM Ad Hoc Dalam Penegakan Hukum Pidana Internasional, Jurnal Hukum Pro Justitia, Oktober 2008, Volume 26 hlm. Indonesia Menuju Ratifikasi Statuta Roma Tentang Mahkamah Pidana Internasional, Kertas Kerja Tahun 2008, hlm. 13 Muladi, Pengadilan Pidana Bagi pelanggar HAM Berat di Era Demokratisasi, Jurnal Demokrasi dan HAM, vol, 1 Mei Agustus 2000, Robert Cryer, Prosecuting International Crimes Selectivity and the International Criminal Law Re-gime, New York Cambridge University Press, hlm. Pada forum ini pemerintah Indonesia mengirim Prof Dr Muladi,SH. Sebagai ketua delegasi Republik Indonesia pada Penipotentiaries Conference of the establishment of The International Criminal Court. Jurnal IuS Vol VII Nomor 1 April 2019 hlm, 174 Kajian Hukum dan Keadilan IUS174~181internasional. Kejahatan yang dimaksud terdiri dari empat jenis, yaitu kejahatan genosida the crime of genocide, kejahatan terhadap kemanusiaan crimes against humanity, kejahatan perang war crimes, dan kejahatan agresi the crime of aggression. Berbeda dengan mahkamah internasional sebelumnya yang sifatnya ad hoc, seperti International Criminal Tribunal for fomer Yugoslavia ICTY dan International Criminal Tribunal for Rwanda ICTR, Mahkamah Pidana Internasional merupakan pengadilan yang permanen Pasal 3 1 Statuta Roma. Mahkamah ini hanya berlaku bagi kejahatan yang terjadi setelah Statuta Roma berlaku Pasal 24 Statuta Roma. Mahkamah Pidana Internasional merupakan mahkamah yang independen dan bukan merupakan badan dari PBB karena dibentuk berdasarkan perjanjian multilateral, meskipun dalam beberapa kondisi tertentu ada relasi peran antara Mahkamah dengan PBB Pasal 2 Statuta Roma.Statuta Roma memuat banyak pengaman yang menjamin penyelidikan dan penuntutan hanya dilakukan untuk kepentingan keadilan, bukan kepentingan politik. Meskipun Dewan Keamanan PBB dan negara dapat merujuk kepada Jaksa Penuntut Mahkamah Pidana Internasional, keputusan untuk melaksanakan penyelidikan merupakan wewenang Jaksa Penuntut. Namun, Jaksa Penuntut tidak hanya akan bergantung pada Dewan Keamanan PBB atau rujukan negara saja, tetapi juga akan mendasarkan penyelidikannya berdasarkan informasi dari berbagai sumber. Jaksa Penuntut harus meminta kewenangan dari Pre-Trial Chamber baik untuk melakukan penyelidikan maupun penuntutan dan permintaan tersebut dapat digugat oleh International Criminal Court ICC merupakan salah satu tonggak penting dalam perkembangan penegakan hukum pidana internasional. Keberadaan ICC mengubah secara progresif pola penegakan hukum yang pada awalnya berpola indirect enforcement methods yang mengharuskan negara-negara tertentu untuk meratifikasi konvensi internasional untuk diterapkan melalui mekanisme hukum nasional. Model tersebut kemudian bergeser menuju model direct enforcement model penegakan hukum pidana internasional yang bersifat langsung. Awalnya model penegakan hukum internasional secara eksplisit diterapkan secara ad hoc untuk tempus dan locus deliciti tertentu seperti pengadilan kejahatan internasional bagi bekas Yugoslavia ICTY yang dibentuk pada tahun 1993 dan Pengadilan Kejahatan Internasional bagi Rwanda ICTR yang dibentuk pada tahun 1994. Walaupun kedua bentuk pengadilan tersebut telah cukup efektif berlaku, namun terbentuknya ICC mengembangkan model penegakan hukum pidana internasional langsung yang bersifat permanen dengan prinsip-prinsip yang masih tetap menghormati kedaulatan suatu negara dan asas Yurisdiksi ICCPrinsip yang mendasar dari Statuta Roma ini adalah bahwa ICC “merupakan pelengkap bagi yurisdiksi pidana nasional” Pasal 1. Ini berarti bahwa Mahkamah harus mendahulukan sistem nasional, kecuali jika sistem nasional yang ada benar-benar tidak mampu unable16 dan tidak bersedia unwilling17 untuk melakukan penyelidikan 16 Unable-tidak mampu Pasal 17 3 Pengadilan suatu negara dinyatakan tidak mampu apabila terjadi kegagalan sistem pengadilan nasional, secara menyeluruh ataupun sebagian. Sehingga negara tersebut tidak mampu menghadirkan tertuduh atau bukti dan kesaksian yang dianggap perlu untuk menjalankan proses Unwilling –tidak bersungguh-sungguh Pasal 17 2 Suatu negara dinyatakan tidak mempunyai kesungguhan dalam menjalankan pengadilan apabila 1 Pengadilan nasional dijalankan dalam rangka melindungi pelaku dari tanggung jawab pidana atas kejahatan berat tersebut 2 Terjadi penundaan yang tidak konsisten dengan niat untuk mendapat keadilan; 3 Pengadilan dilakukan secara tidak independen dan memihak, serta tidak konsisten dengan niat untuk mendapatkan keadilan 175 Kajian Hukum dan Keadilan IUSP-ISSN 2303-3827, E-ISSN 2477-815Xatau menuntut tindak kejahatan yang terjadi, maka akan diambil alih menjadi dibawah yurisdiksi Mahkamah Pasal 17.Jika didalami maka pembahasan tentang yuridiksi ICC, maka ICC menganut dua regim yuridiksi,18 yakni jurisdiction sword is so shrap and long dan jurisdiction sword, which is cumbersome and short. Yurisdiksi kriminal ICC secara alamiah the normal ICC jurisdiction hanya berlaku terhadap negara peserta statuta Roma 1998 tentang pembentukan Namun sehubungan dengan adanya peranan DK PBB sebagai trigger mechanism berlakunya yuridiksi ICC, maka sebenarnya yuridiksi ICC berlaku juga kepada negara yang bukan peserta Statuta Roma 1998. Hal ini dijelaskan lebih lanjut dengan mengemukakan pandangan Hans Peter Kaul berkenaan dengan, jurisdictional regime of the statute yang menyatakan, one court is potentially very strong and universal and has a sharp jurisdictional sword with a long outreach. The other court is quite weak and has only a jurisdiction sword, which is cumbersome and Lebih lanjut dinyatakan pada satu sisi ICC mendasarkan pada DK PBB sebagai salah satu triggered jurisdiction berdasarkan Pasal 13b Statuta Roma 1998, di mana dalam Statuta Roma dimana dalam Statuta Roma 1998 terkandung the jurisdiction regime of a permanent ad hoc tribunal yang hanya dapat dijalankan oleh DK PBB khususnya oleh anggota tetap. Dalam hal ini yang diperlukan adalah penyerahan resolusi oleh DK PBB berdasar Bab VII Piagam PBB dan berdasarkan resolusi tersebut DK PBB menyerahkan kasus pelanggaran HAM berat pada ICC. Pada kasus serupa itu tidak diperlukan kondisi penerapan lebih lanjut, tidak ada syarat lebih lanjut yang diperlukan. Dalam situasi tersebut yurisdiksi ICC dikatakan sebagia jurisdiction sword is so sharp and long, terlepas itu dikatakan sebagai jurisdiction sword is so sharp and long, terlepaas itu menyangkut negara peserta atau diluar negara peserta atau oleh jaksa penuntut secara propiu perbedaan mendasar antara pelaksanaan yuridiksi ICC oleh DK PBB dengan negara peserta atau jaksa penuntut ICC, yang membuat yurisdiksi ICC menjadi tidak praktis dan jangkauannya terbatas. Iini disebabkan oleh adanya pembatasan pra kondisi berlakunya yurisdiksi ICC sebagaimana diatur dalam Pasal 12, di mana baik negara teritorial territorial state tempat terjadinya pelanggaran HAM berat atau nationality state harus menjadi negara peserta Statuta Roma 1998 setelah statuta berlaku, maka ICC dapat melaksanakan yuridiksinya hanya berkenaan dengan kejahatan yang dilakukan setelah ratifikasi atau aksesi oleh negara yang bersangkutan, kecuali kalau negara tersebut telah membuat deklarasi. Dari penjelasan mengenai jurisdictional regime of the statute tersebut dapat ditegaskan, triggered jurisdiction oleh negara peserta atau jaksa penuntut, maka yurisdiksi ICC hanya berlaku terhadap negara peserta. 3. Hubungan ICC dengan Pengadilan DomestikTerbentuknya pengadilan pidana internasioanl international criminal court menimbulkan beberapa konsekuensi problematika khususnya yang berkaitan dengan hubungan antara mahkamah pidana internasional ICC dengan peradilan hak asasi manusia yang bersifat domestik. Ringkasnya keberadaan ICC akan berkaitan dengan 18 Ada empat kategori atau pembagian jurisdiksi dalam kerangka kerja International Criminal Court. They cover jurisdictional regimes relating to subject matter the crimes that can be investigated and prosecut-ed, personal individuals who fall under the Court’s scrutiny, territorial where the crimes are committed, and temporal the time frame during which the Court can consider the commission of crimes in any particular situation David Scheffer, The International Criminal Court dalam William A. Schabas and Nadia Bernaz, Routledge Handbook of International Criminal Law, USA Routledge, 2011 hlm. Kartini Sekartaji, Prospek dan Tantangan International Criminal Court, Jurnal Hukum dan pemban-gunan, Nomor 2 tahun XXXIV, April-Juni, 2004, hlm. 9720 Hans Peter Kaul, The International Criminal court Jurisdiction, Trigger mechanism and Relationship to National Jurisdiction, dalam, hlm. 60-62 Jurnal IuS Vol VII Nomor 1 April 2019 hlm, 176 Kajian Hukum dan Keadilan IUS176~181doktrin kedaulatan negara dan imunitas negara yang membentengi perbuatan negara terhadap langkah hukum dari negara yurisdiksi antara pengadilan pidana internasional dengan pengadilan domestik tampak sudah disadari sejak pembentukan mahkamah Nuremburg. Piagam London 8 Agustus 1945 yang menjadi dasar pembentukan mahkamah Nuremburg secara tersirat meletakkan prinsip komplementer, yang pada dasarnya mengatakan bahwa kejahatan internasional sekedar merupakan pelengkap dari pengadilan domestik. Jelaslah ICC bersifat complementary principle. Prinsip pelengkap ini sesuai dengan Pasal 17 Statuta Roma, negara yang bersangkutan unwillingness tidak menghendaki atau unable tidak mampu melakukan pemeriksaan dalam proses pengadilan HAM Mahkamah tidak dimaksudkan untuk menggantikan sistem peradilan yang masih berfungsi, melainkan untuk menyediakan sebuah alternatif untuk mencegah impunity yang disebabkan karena sistem peradilan yang independen dan efektif tidak melihat uraian di atas, hubungan yurisdiksional antar mahkamah kejahatan internasional dengan pengadilan domestik dapat digambarkan sebagai berikut231. Mahkamah kejahatan internasional generasi pertama Mahkamah Nuremburg dan Tokyo sekedar merupakan pelengkap dari pengadilan-pengadilan domestik;2. Mahkamah kejahatan internasional generasi kedua ICTY dan ICTR memiliki yurisdiksi bersama concurrent jurisdiction dengan pengadilan domestik, namun di dalam hubungan seperti itu ditegaskan adanya primacy mahkamah kejahatan Mahkamah kejahatan internasional generasi ketiga ICC pada dasarnya merupakan pelengkap dari pengadilan domestic, namun dalam keadaan tertentu diakui adanya primacy mahakamah kejahatan internasional. Kaitanya dengan tentang instrument nasional untuk menyelesaikan pelanggaran HAM menurut Sigit Riyanto ada dua masalah/ kelemahan serius yang perlu mendapat perhatian yakni; terkait dengan sistem peradilan pidana dan perangkat hukum regulasi yang Kelemahan pertama yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana yakni adanya dikotomi peradilan sipil-militer yang kompetensinya didasarkan pada siapa pelakunya subyek dan bukan jenis perbuatan obyek yang diadili oleh masing-masing badan peradilan. Walaupun kompetensi pengadilan militer court martial ini diakui efektif untuk menegakkan pelanggaran-pelanggaran terhadap garis komando dan disiplin ketentaraan. Pada sisi lain kelemahan mendasar juga adalah ketidakmampuan untuk menerapkan prinsip impartial, independent and due process oriented. Ketidakmpuan menerapkan prinsip mendasar tersebut membuat pengadilan tidak mampu mengadili para pelaku dari aparat militer sehingga melanggengkan impunitas apabila terjadi pelanggaran HAM 21 Indriyanto Seno Adji, Pengadilan HAM, Masalah dan Perspektifnya, Jurnal Keadilan Vol. 2, No. 2 Tahun 2002, Jerry Flower, Mahkamah Pidana Internasional, Keadilan Bagi Generasi Mendatang, makalah Lem-baga Studi dan Advokasi Masyarakat, Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007, hlm. 23 Syachdin, Kewenangan Peradilan Pidana Internasional di Indonesia Menurut Statuta ICC dalam Up-aya Menangani Kejahatan, Jurnal Hukum, Vol. XVII, No. 2. Juni 2007, hlm. 240 24 Sigit Riyanto, Penegakan HAM di Indonesia Beberapa Catatan Kritis, Jurnal Mimbar Hukum, No. 38/VI/2001. hlm. 57-5825 Lihat laporan The United nations Commission On Human Rights Fifty-First Session, 16 January 1996. Di dalam Join Report Of The Special Rapporteur On The Question Of Torture, Mr. Nigel S Rodley, and the Special Rapporteur on Extrajudicial, Summary Or Arbitrary Executions, Mr. Bacre Waly Ndiay, submitted pursuant to Commision on Human Rights Resolutions 1994/37 and 1994/82, Paragraph 107. 177 Kajian Hukum dan Keadilan IUSP-ISSN 2303-3827, E-ISSN 2477-815XKaitannya dengan kelemahan peraturan perundang-undangan ada beberapa hal penting yang harus dikritisi yaitu berkaitan dengan pengadopsian ketentuan Rome Statute 1998 secara parsial. Implikasinya jenis-jenis pelanggaran HAM yang dapat diajukan ke Pengadailan HAM lebih limitative dan selektif yang dapat membuka peluang terjadinya impunitas. Bahkan jenis-jenis pelanggaran tertentu yang terjadi pada masa lalu maupun yang akan dating tidak terjangkau dan pelakunya akan bebas. Kelemahan tersebut semakin diperparah dengan adanya campur tangan kepentingan politik yaitu lewat kesepakatan DPR untuk menentukan ada atau tidak pelanggaran HAM. Ketentuan ini juga telah membuka ruang untuk terjadinya penelikungan kepentingan dan komoditas tergantung pada kepentingan politik. Diterimanya pelanggaran HAM berat sebagai kejahatan internasional yang universal untuk menjamin pelaku tidak bisa lolos dari tuntutan hukum. Untuk melakukan penuntutan di tingkat internasional atas pelaku kejahatan pelanggaran HAM berat tetap memperhatikan kedaulatan atau yuridiksi Negara pelaku kejahatan atau negara wilayah kejahatan itu dilakukan. Karena pada dasarnya pengadilan tingkat internasional sifatnya komplementer complementery principle. Prinsip tersebut kemudian dikembangkan dalam InternationalCriminal Court, sebagai mana dapat dilihat dalam Pasal Preamble dan Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat disimpulkan1. Primacy, dalam mengadili pelaku pelanggaran HAM berat ada pada pengadilan nasional. Kewenangan mengadili ICC tidak dapat dilakksanakan karena proses peradilan ditingkat nasional sedang atau telah ICC mempunyai kewenangan mengadili bila negara atau peradilan nasional “unwillingness atau inability;3. ICC tidak dirancang untuk mengganti peradilan nasional, tetapi untuk melengkapi ICC hanya akan bertindak segai jaring pengaman, apabila sistem peradilan nasional collepsed atau secara politis terjadi konpromi dengan kejahatan-kejahatan tersebut;4. Pada hakekatnya ICC dirancang sebagai suatu badan peradilan supranasional yang independen, karena diberi wewenang untuk menilai dan menentukan adanya unwillingness atau inability’ dari peradilan nasional suatu ICC dengan yurisdiksi sistem peradilan pidana nasional bersifat komplementer. Hal ini mengandung arti, bahwa suatu kasus tidak dapat diterima inadmissible apabila28a. kasus tersebut sedang disidik dan dituntut oleh negara yang memiliki yurisdiksi, kecuali negara tersebut sungguh-sungguh tidak mau atau tidak mampu melakukan penyidikan dan penuntutan;b. kasus tersebut telah disidik oleh negara yang memiliki yurisdiksi dan negara tersebut telah memutuskan untuk tidak menuntut si pelaku, kecuali keputusan tersebut sebagai akibat ketidakmauan atau ketidakmampuan negara yang sungguh-sungguh untuk menuntut;c. si pelaku telah diadili atas dasar perbuatan yang sama, kecualui terjadi apa yang dinamakan “peradilan pura-pura” sham proceeding proses peradilan dimaksudkan untuk tujuan melindungi si pelaku dari pertanggungjawaban pidana atas kejahatan di bawah yurisdiksi ICC; atau proses peradilan tidak dilaksanakan secara merdeka 26 Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, Dan Reformasi Hukum Di Indonesia, The Jakarta Habi-bie Center, 2002, hlm. Harry Purwanto, Persoalan di Sekitar Pelanggaran HAM yang Berat di Indonesia, Jurnal Mimbar Hukum, hlm. ibid Jurnal IuS Vol VII Nomor 1 April 2019 hlm, 178 Kajian Hukum dan Keadilan IUS178~181atau bersifat imparsial sesuai dengan norma-norma “due process” yang diakui oleh hukum internasional serta tidak konsisten dengan tujuan untuk mengadili si pelaku;d. kasus tersebut tidak cukup memadai untuk memberikan pembenaran langkah-langkah tersebut merupakan beberapa kendala yang dihadapi ICC. Oleh Muladi di kemukakan tiga 3 tantangan signifikan yang di hadapi ICC, yaitu 1 Eksepsionalitas exceptionality, seperti yang dilakukan USA; 2 Keamanan security sehubungan dengan berkembangnya ancaman berupa terorisme global yang perlu dimasukkan dalam yurisdiksi ICC dan 3 Enforceability, yang memerlukan kerjasama dan bantuan seluruh negara terutama dalam mengejar pelaku dan menjamin keadilan bagi korban Pengadilan Hak Asasi Manusia di IndonesiaBerdasarkan UU No. 26 Tahun 2000, Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada dibawah peradilan umum. Pengadilan ini dikatakan khusus karena dari segi penamaan bentuk pengadilannya sudah secara spesifik menggunakan istilah Pengadilan HAM dan kewenangan pengadilan ini juga mengadili kejahatan-kejahatan tertentu yang bersifat khusus didasarkan atas kerakteristik kejahatan yang sifatnya extraordinary sehingga memerlukan pengaturan dan mekanisme yang juga sifatnya yang berbeda atau khusus30 ini mulai sejak tahap penyelidikan dimana yang berwenang adalah Komnas HAM sampai pengaturan tentang majelis hakim dimana komposisinya berbeda dengan pengadilan pidana biasa. Dalam pengadilan HAM ini komposisi hakim adalah lima orang yang mewajibkan tiga orang diantaranya adalah hakim ad hoc. Namun, meskipun terdapat kekhususan dalam penangannya, hukum acara yang digunakan, masih menggunakan hukum acara pidana terutama prosedur pembuktiannya. Pengadilan HAM ini juga mengatur tentang kekhususan penanganan terhadap kejahatan-kejahatan yang termasuk gross violatioan of human rights dengan menggunakan norma-norma yang ada dalam hukum internasional. Norma-norma yang diadopsi itu diantaranya adalah mengenai prinsip tanggung jawab individual Individual Criminal Responsibility yang dielaborasi dalam ketentuan dalam UU No. 26 Tahun 2000 dalam pasal 1 ayat 4. Tanggung jawab indvidual ini ditegaskan bahwa tanggung jawab dikenakan terhadap semua orang namun tidak dapat dikenakan kepada pelaku yang berusia dibawah 18 tahun. Ketentuan ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Statuta Roma yang juga mengatur tentang tangung jawab individual31 dan pembatasan atas tanggung jawab atas keadaan Muladi, Statuta Roma Tahun 1998 Tentang Mahkamah Pidana Internasional dalam Kerangka Hu-kum Pidana Internasional dan Implikasinya Terhadap Hukum Pidana Nasional, Bandung Alumni, 2011, hlm. 12230 Penjelasan dalam UU No. 26/2000 menyatakan bahwa kekhususan penanganan perkara pelangga-ran HAM yang berat dalam pengadilan HAM ini terdiri atas a diperlukan penyelidik dengan membentuk tim ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut umum ad hoc, dan hakim ad hoc, b diperlukan penegasan bahwa penyelidikan hanya dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sedangkan penyidik tidak ber-wenang menerima laporan atau pengaduan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, c diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan, d diperlukan ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi dan e diperlukan ketentuan yang menegaskan tidak ada kadaluarsa bagi pelanggaran hak asasi manusia yang berat31 Pengaturan dalam Statuta Roma 1998 tentang tanggung jawab pidana individual dalam pasal 25, 26 dan 27. Pasal 25 ayat 2 menyatakan bahwa Seseorang yang melakukan kejahatan di dalam jurisdiksi Mahkamah bertanggung jawab secara individual dan dapat dikenai hukuman sesuai dengan Statuta ini. Pasal 25 ayat 4 menyatakan Tidak ada ketentuan dalam Stututa ini yang berkaitan dengan tanggung 179 Kajian Hukum dan Keadilan IUSP-ISSN 2303-3827, E-ISSN 2477-815XBerdasarkan ketentuan UU No. 26 tahun 2000, Pengadilan HAM mengatur tentang yurisidksi atas kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat baik setelah disyahkanya UU ini maupun kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat sebelum disyahkannya UU ini. Prosedur pembentukan pengadilan ini mempunyai perbedaaan yang cukup mendasar. Dalam penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat setelah disyahkannya UU ini tanpa melalui rekomendasi dan keputusan presiden sebagaimana dalam pembentukan pengadilan HAM ad pembentukan pengadilan HAM adalah berdasarkan adanya dugaan telah terjadi kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Dugaan adanya kasus pelanggaran ini kemudian diselidiki oleh Komnas HAM dengan membentuk komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM KPP HAM. Hasil penyelidikan, jika ditemukan bukti bahwa terdapat dugaan adanya pelanggaran HAM yang berat maka akan dilimpahkan ke Kejaksaan Agung untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan, dalam tahap ini kalau dari hasil penyidikan menunjukkan adanya pelanggaran HAM yang berat maka diteruskan untuk tahap penuntutan yang juga di lakukan oleh Kejaksaan Agung. Berdasarkan bukti-bukti dan penuntutan yang diwujudkan dalam surat dakwaan, kemudian digelar pengadilan HAM berdasarkan kompetensi relatif pengadilan. Tempat pengadilan ini berada di pengadilan negeri dimana locus dan tempos delictie terjadinya pelanggaran HAM yang pembentukan pengadilan HAM setelah disyahkannya UU ini adalah Pengadilan HAM Abepura yang disidang di Pengadilan Negeri Makassar. Kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Abepura Papua terjadi pada tanggal 7 Desember 2000, yang kemudian oleh Komnas HAM di tindaklanjuti dengan melakukan penyelidikan pro yustisia pada tanggal 5 Februari Keberadaan international criminal court dengan diratifikasinya Statuta Roma oleh beberapa negara merupakan kemajuan dalam penegakan hukum pidana internasional. International criminal court mempunyai kewenangan untuk memeriksa beberapa jenis kejahatan yang tergolong luarbiasa. extra ordinary crimes seperti genosida, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan agresi. Kehadiran international criminal court juga merubah pola penegakan hukum pidana internasional yang semula indirect enforcement menuju pada model direct itu juga international criminal court dalam kaitanya dengan yurisdiksi bersifat komplementer. Artinya icc akan menjadi pelengkap atau alterantif jika peradilan suatu negara menunjukan ketidakmampuan dan ketidakinginan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat. Jika dikaitkan dengan konteks Indonesia maka keberadaan jawab pidana individual akan mempengaruhi tanggung jawab negara berdasarkan hukum internasional. Pasal 26 Mahkamah tidak mempunyai jurisdiksi atas seseorang yang berumur kurang dari delapan belas tahun pada saat dilakukannya suatu kejahatan yang dilaporkan. Pasal 27 ayat 1 menyatakan bahwa Statu-ta ini berlaku sama terhadap semua orang tanpa suatu perbedaan atas dasar jabatan resmi. Secara khu-sus, jabatan resmi sebagai seorang Kepala Negara atau Pemerintahan, anggota suatu Pemerintahan atau parlemen, wakil terpilih atau pejabat pemerintah dalam hal apa pun tidak mengecualikan seseorang dari tanggung jawab pidana di bawah Statuta ini, demikian pula dalam dan mengenai dirinya sendiri, tidak merupakan suatu alasan untuk mengurangi hukuman. Selain diatur dalam Statuta Roma, pertanggung-jawaban pidana secara indvidual ini juga telah ada dalam beberapa instrumen hukum internasional mis-alnya the Genocide Convention dalam Article IV yang menyatakan ..”persone committing genocide….shall be punished, wether they are constitutionally responsible rules, public officials, or private individ-uals.” Demikian pula dalam the Apartheid Convention dalam article III menyatakan bahwa ..” individual criminal responsibility shall apply … to individuals, members of organizations and institutions and represen-tatives of the state… .” Selain itu dalam pasal 7 ICTY dan pasal 6 ICTR juga mengatur tentang tanggung jawab pidana secara individual. Jurnal IuS Vol VII Nomor 1 April 2019 hlm, 180 Kajian Hukum dan Keadilan IUS180~181international criminal court dengan mendasarkan statuta roma akan mendukung sepenuhnya proses peradilan HAM yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang menjadi bagian dari sistem penegakan hukum pidana PUSTAKABukuM. Cherif Bassiouni, 1986. International Criminal Law Crimes, Vol. Transnational Publisher, Inc., New York. Muladi, 2011. Statuta Roma Tahun 1998 Tentang Mahkamah Pidana Internasional dalam Kerangka Hukum Pidana Internasional dan Implikasinya Terhadap Hukum Pidana Nasional, Bandung 2002. Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, Dan Reformasi Hukum Di Indonesia, The Jakarta Habibie Center. Robert Cryer, 2004. Prosecuting International Crimes Selectivity and the International Criminal Law Regime, New York Cambridge University A. Schabas and Nadia Bernaz, Routledge Handbook of International Criminal Law, USA Rokhmad, A. 2005. HAM dan Demokrasi di Era Globalisasi Menuju Promosi dan Perlindungan HAM Generasi Kedua. Jurnal Hukum, 153.Nurbani, E. S. 2018. KEWAJIBAN INDONESIA BERDASARKAN KETENTUAN YANG BERSAMAAN KONVENSI JENEWA 1949. Jurnal Jatiswara, 333, G. P. 2010. The International Criminal Court’s Ineffective Enforcement Mechanisms The Indictment of President Omar Al Bashir. Fordham Int’l LJ, 34, H. 2001. Persoalan Di Sekitar Pelanggaran HAM Yang Berat Di Indonesia. Yogyakarta, Media Hukum No, I. S. 2014. PENGADILAN HAM, MASALAH & PERSPEKTIFNYA. [28] JURNAL KEADILAN, 22.Jerry Flower, 2007. Mahkamah Pidana Internasional, Keadilan Bagi Generasi Mendatang, makalah Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara K. L. 2001. Tak ada Jalan Pendek Menuju Rekonsiliasi. Jurnal Demokrasi dan HAM, Jakarta ID Sekartaji, 2004. Prospek dan Tantangan International Criminal Court, Jurnal Hukum dan pembangunan, Nomor 2 tahun XXXIV, M. P. 2007. Perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia dalam Dinamika Global. Mimbar Hukum, 192007.Muladi, 2000, Pengadilan Pidana Bagi pelanggar HAM Berat di Era Demokratisasi, Jurnal Demokrasi dan HAM, Vol, 1 Mei-Agustus. 181 Kajian Hukum dan Keadilan IUSP-ISSN 2303-3827, E-ISSN 2477-815X-, Peradilan Hak Asasi Manusi Dalam Konteks Nasional Dan Internasional, makalah, tanpa tahun, Wahjoe, O. 2008. Pengadilan Hak Asasi Manusia ad hoc Dalam Penegakan Hukum Pidana Internasional. Jurnal Hukum Pro Justitia, 264.Satjipto Rahardjo, 2004. Hak Asasi Manusia dalam Masyarakatnya, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 7, 2007. Kewenangan Peradilan Pidana Internasional di Indonesia Menurut Statuta ICC dalam Upaya Menangani Kejahatan, Jurnal Hukum, Vol. XVII, No. 2. S. 2001. Penegakan HAM Di Indonesia Beberapa Catatan Kritis. Yogyakarta, Majalah Mimbar Hukum No, 38. ... Negara harus melakukan upaya untuk menjamin kembali hak-hak para korban dan keluarganya. Negara memiliki tanggung jawab untuk menjamin terbentuknya kualitas peradaban yang lebih baik dengan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di masa lampau Ufran, 2019. Upaya negara dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat dilakukan dengan membentuk tim ad hoc yang terdiri dari Komnas HAM dan unsur masyarakat Nugraha, Madina, & Dika, 2019 ...... Statuta Roma yang disahkan oleh Konferensi Diplomatik Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 17 Juli 1998 digunakan untuk membentuk Mahkamah Pidana Internasional. Statuta Roma mengatur kewenangan untuk mengadili kejahatan paling serius yang mendapatkan perhatian internasional Ufran, 2019. Pasal 5 ayat 1 Statuta Roma menjelaskan bahwa yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional berkaitan dengan kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. ...Andhika Yudha PratamaThis study aimed to analyze gross human rights violations in Indonesia, the implementation of Law Number 26 of 2000 concerning the Ad Hoc Human Rights Court, and the challenges of ad hoc human rights courts in resolving gross human rights violations in Indonesia. This study applied normative and empirical legal research with a case study approach. The researcher collected data from primary and secondary data resources. Data collection techniques were carried out by reviewing, studying, and categorizing. The analysis procedure started with data inspection techniques, data marking, and drawing conclusions. The study results showed that the provision of gross human rights violations in Indonesia was adopted from the Rome Statute. However, the implementation of Law Number 26 of 2000 concerning the Ad Hoc Human Rights Court was still limited to the judicial process of the cases of Timor-Timur and Tanjung Priok. The challenges of ad hoc human rights courts include the less than optimal role of Law Number 26 of 2006, legal aspects of the legislation that were not accompanied by procedural law procedures, law enforcement officers who did not work optimally, as well as political, social, and cultural factors that weaken law enforcement at the national level.... Adapun peirhal dalam eksistensi pengadilan pidana internasional, selain sebagai sebuah Mahmakah Pidana, juga memberikan dampak terhadap pola penegakan hukum pidana internasional yang semula indirect enforcement menuju model direct enforcement. Hal inilah yang jika dikaitkan dengan konteks Negara Indonesia, keberadaannya menjadi sumber pendukung terhadap proses pelanggaran hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Ufran, 2019. ...... Lahirnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tersebut, menjembatani politik hukum Indonesia, dimana pemerintah seolah ingin mengubah citra buruk dimata internasional, yang selama ini memberikan statement bahwa Indonesia tidak mampu dalam menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di masa lalu. Bahkan tak hanya disana, keberadaan peraturan perundangundangan tersebut dianggap sebagai upaya nyata Indonesia untuk menghindarkan diri dari campur tangan internasional dalam urusan domestik terkait dengan kejahatan kemanusiaan Ufran, 2019. ...Linda NoviantiBerbagai generasi sudah pasti mewarisi sejarah dan tidak akan pernah bisa melupakan petaka berdarah kerusuhan Mei 1998. Meskipun generasi milenial seperti era masa kini tidak turut berperan pada masa itu, namun dengan membaca sejarahnya, tentu dapat mengundang perasaan mengerikan tatkala membayangkannya. Terkait Etnis Cina misalnya, yang dikejar-kejar, dipukuli, dianiaya, dibunuh secara keji, bahkan diperkosa ramai-ramai. Barang dagangan dalam ruko-ruko milik mereka dijarah, lalu dibakar. Sepertinya tidak terhitung banyaknya rumah, ruko, mall, gedung perkantoran, bahkan sarana olahraga yang dibakar massa saat kerusuaan tersebut terjadi. Adapun mengenai metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dekriptif, dengan hasil analisis bahwa perlindungan atas hak minoritas beberapa upayanya, dapat dilakukan dengan pemenuhan kewajiban serta ikrar dari berbagai negara seperti halnya yang tercantum dalam perjanjian internasional, memberikan pertimbangan terhadap berbagai kepentingan kaum minoritas dalam rangka pengembangan kebijaksanaaan, serta menyokong pemahaman kebudayaan, tradisi dan bahasa kaum minoritas yang berada pada wilayah tertentu dengan mengulurkan jaminan anggota kelompok minoritas juga memiliki kesempatan yang sama secara menyeluruh. Sementara itu, mengenai prinsip dasar hukum hak minoritas merupakan panduan bagaimana negara mengatur dan memenuhi hak-hak kelompok minoritas. Aturan-aturan tersebut meliputi produk hukum nasional, upaya ratifikasi terhadap konvensi dan kovenan internasional yang berhubungan dengan hak-hak kelompok minoritas di Indonesia. Kemudian mengenai politik hukum Indonesia yang berkaitan dengan Statuta Roma dalam menangani pelanggaran hak minoritas, diantaranya lahir Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, sebagai jembatan politik hukum Indonesia, dimana keberadaan peraturan perundang-undangan tersebut dianggap sebagai upaya nyata Indonesia untuk menghindarkan diri dari campur tangan internasional dalam urusan domestik terkait dengan kejahatan kemanusiaan.... The ICC is an independent organization, with its own organizational structure outside the United Nations, with funding based on contributions from participating countries in the 1998 Rome Statute Art 4 1 of the Rome Statute, 1998.Based on the basic principle of the Rome Statute, the ICC is a complement to national criminal jurisdiction article 1, namely that the Court must give priority to the national system, unless the current national system is completely incapable unnable and unwilling unwilling to conduct investigations or prosecute not the crimes that have occurred, it will be taken over under the jurisdiction of the Court Article 17. The jurisdiction or jurisdiction of the ICC is limited by a number of articles, in particular the subject of law tried or matters under its jurisdiction rationae personae, including government officials, only military and civilian commandsUfran, 2019. Furthermore, the jurisdiction of the ICC includes crimes that are the most serious crimes in the eyes of the international community, as provided in Article 58 of the Rome Statute of 1988, ...Neni RakhmawatiRodrigo Duterte who has ordered the police to execute drug addicts who do not want to be arrested. However, the assailant was still shot despite surrendering to arrest, the police on behalf of the anti-drug unit went to people's homes and did so because of the policy of "who gets killed, the police get paid". The crime that has been committed by Rodrigo Duterte under ICC jurisdiction is giving orders. to the police and the public to carry out extrajudicial killings of individuals involved in narcotics and to protect those who carry out their orders, so that Rodrigo Duterte is judged guilty and responsible in accordance with Article 25 paragraph 3 b, c, d the Rome Statute Crimes against humanity are among the criminal jurisdictions of the ICC. Although the Philippines withdrew from the Rome Statute, it did not prevent the International Criminal Court ICC from reviewing the case involving Philippine President Rodrigo Duterte. The Rome Statute provides for withdrawals, in particular article 127 , paragraphs 1 and 2 of the 1998 Rome Statute. Gde Made SwardhanaThe human rights law is not identical with international humanitarian law. This article attempts to explore both the relation and the difference between gross human rights violation and violation of international humanitarian law. While, for Indonesia context, crimes against humanity was arranged in the Human Rights Court Law, however, it is still raise discourses related with the limitation of crime against humanity that different with international law instruments, and it also raises problem for Judges and Human Rights Court to define the crimes against humanity as the legal ground for several gross violation of human rights that adjudicate within this framework. This article use normative legal research method to conduct, analyze, and arrange crime against humanity formulation with statutory law approach, legal conceptual approach, and legal cases approach. This article concluded with the limitation that highlighted whether gross human rights violation can be prosecuted and punished using international humanitarian law. This article also stressing normative and conceptual aspect related with development of crimes against humanity, its element of crime and its application by judicial system. Vavirotus SholichahMahasiswa ProdiIlmu HukumFakultas HukumABSTRAK Pelanggaran Hak Asasi Manusia HAM tentu dapat dilakukan oleh setiap orang maupun kelompok, baik pada saat kondisi damai, konflik SARA suku, agama, ras, dan antar golongan, konflik bersenjata maupun kejahatan perang war crimes. Perbuatan yang melanggar HAM sangat merugikan bagi jiwa dan harta benda orang lain karena dilakukan dengan kekerasan fisik, psikis, bahkan menyerang psikologis manusia. Salah satu perbuatan yang melanggar HAM tersebut dikenal dengan kejahatan perang war crimes. Perang adalah kondisi dimana salah satu pihak menundukkan lawannya untuk memenuhi keinginannya, suatu tindakan fisik atau non fisik antara dua atau lebih kelompok manusia bertujuan untuk menguasai. Hukum pidana internasional adalah "hukum yang menentukan hukum pidana nasional apa yang akan diterapkan pada pelanggaran benar-benar dilakukan jika mengandung unsur internasional ". Dalam konteks hukum pidana internasional, Mahkamah Pidana Internasional merupakan pengadilan permanen yang dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa berdasarkan Statuta Roma 1998. Pengadilan ditetapkan sebagai instrumen untuk menuntut orang yang melakukan kejahatan internasional. Kata kunci kejahatan perang war crimes, hukum pidana internasional. ABSTRACT Violations of Human Rights HAM can certainly be committed by any person or group, both during times of peace, racial and inter-group conflicts, armed conflicts and war crimes. Acts that violate human rights are very detrimental to the lives and property of others because they are carried out with physical, psychological, and even psychological attacks on humans. One of the acts that violates human rights is known as war crimes war crimes. War is a condition in which one party subdues his opponent to fulfill his wish, a physical or non-physical act between two or more groups of people with the aim of controlling. International criminal law is "the law that determines what national criminal law will be applied to violations actually committed if Brown'The Research Handbook is a comprehensive up-to-date guide to one of the youngest yet most dynamic areas of international law. It tackles the pertinent challenges and opportunities, starting with the classical issues like categories of international crimes and complementarity, going on to address the problems ahead including the Guantanamo regime, crimes against women and the status of private security contractors. The Handbook will be a valuable source for both general and advanced international criminal law research.' - James Crawford, Cambridge University, CryerThis 2005 book discusses the legitimacy of the international criminal law regime. It explains the development of the system of international criminal law enforcement in historical context, from antiquity through the Nuremberg and Tokyo Trials, to modern-day prosecutions of atrocities in the former Yugoslavia, Rwanda and Sierra Leone. The modern regime of prosecution of international crimes is evaluated with regard to international relations theory. The book then subjects that regime to critique on the basis of legitimacy and the rule of law, in particular selective enforcement, not only in relation to who is prosecuted, but also the definitions of crimes and principles of liability used when people are prosecuted. It concludes that although selective enforcement is not as powerful as a critique of international criminal law as it was previously, the creation of the International Criminal Court may also have narrowed the substantive rules of international criminal P BarnesPart I introduces the Rome Statute and highlights the portions of the Rome Statute that leave the ICC vulnerable to member states that violate the Rome Statute without any clear punishment for the violation. In particular, Part I focuses on the expansive jurisdiction and the limited enforcement mechanisms that the Rome Statute bestows upon the ICC. Part II illustrates the ICC's vulnerability under the Rome Statute by using the example of the ICC's indictment of President Al Bashir and examining the existing tension between the ICC and the African Union "AU". Part III argues that the ICC must strengthen or expand its enforcement mechanisms in order to become a legitimate force in the international forum. It suggests three possible ways to reach this goal suspension, expulsion, and implementation of United Nations "UN" Security Council Jurnal RokhmadJurnal Rokhmad, A. 2005. HAM dan Demokrasi di Era Globalisasi Menuju Promosi dan Perlindungan HAM Generasi Kedua. Jurnal Hukum, 153.E S NurbaniKewajibanYang Berdasarkan KetentuanBersamaanJenewaNurbani, E. S. 2018. KEWAJIBAN INDONESIA BERDASARKAN KETENTUAN YANG BERSAMAAN KONVENSI JENEWA 1949. Jurnal Jatiswara, 333, Di Sekitar Pelanggaran HAM Yang Berat Di IndonesiaH PurwantoPurwanto, H. 2001. Persoalan Di Sekitar Pelanggaran HAM Yang Berat Di Indonesia. Yogyakarta, Media Hukum No, Pidana InternasionalJerry FlowerJerry Flower, 2007. Mahkamah Pidana Internasional, Keadilan Bagi Generasi Mendatang, makalah Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara ada Jalan Pendek Menuju RekonsiliasiK L SupelliSupelli, K. L. 2001. Tak ada Jalan Pendek Menuju Rekonsiliasi. Jurnal Demokrasi dan HAM, Jakarta ID dan Tantangan International Criminal Court, Jurnal Hukum dan pembangunan, Nomor 2 tahun XXXIVKartini SekartajiKartini Sekartaji, 2004. Prospek dan Tantangan International Criminal Court, Jurnal Hukum dan pembangunan, Nomor 2 tahun XXXIV, Hak Asasi Manusia di Indonesia dalam Dinamika GlobalM P GunartoGunarto, M. P. 2007. Perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia dalam Dinamika Global. Mimbar Hukum, 192007.
Sistem Peradilan Internasional – Dalam hubungannya dengan peradilan internasional, komponen peradilan itu yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu kesatuan dalam rangka mencapai keadilan internasional. Komponen-komponen tersebut meliputi mahkamah internasional the international court of justice, mahkamah pidana internasional the international criminal court, dan panel khusus dan spesial pidana internasional the international criminal tribunals and special courts. Mahkamah Internasional Mahkamah internasional merupakan organ utama lembaga kehakiman PBB yang berkedudukan di Den Haag, Belanda. Mahkamah itu didirikan pada tahun 1945 berdasarkan piagam PBB. Dalam piagam itu ditetapkan kedudukan dan wewenang mahkamah internasional yang merupakan bagian integral dari piagam PBB. Kedudukan Mahkamah Internasional Mahkamah internasional merupakan salah satu organ utama Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sebagai organ utama, mahkamah internasional bertugas untuk mencapai tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sebagai organ utama, Mahkamah Internasional bekerja sama dan saling membantu dengan organ-organ lain dari PBB. Mahkamah Internasional merupakan sarana peradilan bagi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa Negara bukan anggota PBB, untuk kasus tertentu, juga dapat berperkara di hadapan mahkamah internasional setelah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh majelis umum dan atas rekomendasi Dewan Keamanan. Komposisi Mahkamah Internasional Dalam pasal 9 statuta mahkamah internasional dijelaskan bahwa komposisi mahkamah internasional terdiri atas 15 orang hakim, dengan masa jabatan 9 tahun. Ke-15 calon hakim tersebut direkrut dari warga negara anggota yang dinilai cakap di bidang hukum internasional. Dari daftar calon hakim ini, majelis umum dan dewan keamanan secara independen melakukan pemungutan suara untuk memilih anggota mahkamah internasional. Para calon yang memperoleh suara terbanyak terpilih menjadi hakim mahkamah internasional. Biasanya lima hakim mahkamah internasional berada dari negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Cina, dan Rusia. Di samping 15 hakim tetap, pasal 32 statuta mahkamah internasional memungkinkan dibentuknya hakim ad hoc yang terdiri atas dua orang hakim yang diusulkan oleh negara yang bersengketa. Kedua hakim ad hoc tersebut bersama-sama dengan ke-15 hakim tetap, memeriksa dan memutuskan perkara yang disidangkan. Fungsi Utama Mahkamah Internasional Fungsi utama mahkamah internasional adalah menyelesaikan kasus-kasus persengketaan internasional yang subjeknya adalah negara. Dalam pasal 34 statuta Mahkamah internasional dinyatakan bahwa yang boleh beracara di Mahkamah Internasional adalah subjek hukum negara only states may be parties Indonesia cases before the court. Ada tiga kategori negara menurut statute ini, yaitu sebagai berikut. Negara anggota PBB berdasarkan pasal 35 ayat 1 statuta mahkamah internasional dan pasal 93 ayat 1 piagam PBB, otomatis memiliki hak untuk beracara di mahkamah internasional. Negara bukan anggota PBB yang menjadi anggota statute mahkamah internasional, dapat beracara di mahkamah internasional apabila telah memenuhi persyaratan yang diberikan oleh dewan keamanan PBB atas dasar pertimbangan majelis umum PBB, yakni bersedia menerima ketentuan dari statute mahkamah internasional piagam PBB pasal 94 dan segala ketentuan berkenaan dengan mahkamah internasional. Negara bukan anggota statute mahkamah internasional, kategori-kategori ini diharuskan membuat deklarasi bahwa akan tunduk pada semua ketentuan mahkamah internasional dan piagam PBB pasal 94. Yurisdiksi Mahkamah Internasional Yurisdiksi adalah kewenangan yang dimiliki oleh mahkamah internasional yang bersumber pada hukum internasional untuk menentukan dan menegakkan sebuah aturan hukum. Yurisdiksi mahkamah internasional ini meliputi kewenangan untuk memutuskan perkara-perkara pertikaian contentious case; memberikan opini-opini yang bersifat nasihat advisory opinion. Yurisdiksi menjadi dasar mahkamah internasional dalam menyelesaikan sengketa internasional. Para pihak yang akan beracara di mahkamah internasional wajib untuk menerima yurisdiksi mahkamah internasional. Terdapat beberapa kemungkinan cara penerimaan tersebut, yakni dalam bentuk berikut. Perjanjian khusus, adalah bahwa para pihak yang bersengketa menyerahkan perjanjian khusus yang berisi subjek sengketa dan pihak yang bersengketa. Contohnya adalah kasus sengketa Pulau Ligitan dan Sipadan antara Indonesia dan Malaysia. Penundukan diri dalam perjanjian internasional, adalah bahwa para pihak telah menundukkan diri pada yurisdiksi mahkamah internasional sebagaimana yang terdapat dalam isi perjanjian internasional di antara mereka. Ketentuan tersebut mewajibkan peserta perjanjian untuk tunduk kepada yurisdiksi mahkamah internasional jika terjadi sengketa di antara para peserta perjanjian. Pernyataan penundukan diri negara peserta statuta Mahkamah Internasional, adalah bahwa negara yang menjadi anggota statuta Mahkamah internasional yang akan beracara di Mahkamah Internasional menyatakan diri untuk tunduk pada Mahkamah Internasional. Mereka tidak perlu membuat perjanjian khusus terlebih dahulu. Putusan Mahkamah Internasional mengenai yurisdiksinya, dapat diterangkan bahwa ketika terdapat sengketa mengenai yurisdiksi Mahkamah Internasional, sengketa tersebut dapat diselesaikan melalui keputusan mahkamah internasional sendiri. Di sini para pihak dapat mengajukan keberatan awal terhadap yurisdiksi mahkamah internasional. Penafsiran putusan, didasarkan pada pasal 60 statuta mahkmah internasional, yang mengharuskan Mahkamah Internasional memberikan penafsiran jika diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang beracara. Permintaan penafsiran dapat dilakukan dalam bentuk perjanjian khusus antarpara pihak yang bersengketa. Perbaikan putusan, dapat dijelaskan bahwa penundukan diri pada yurisdiksi Mahkamah Internasional dilakukan melalui pengajuan permintaan. Syaratnya adalah adanya fakta baru novum yang belum diketahui Mahkamah Internasional pada saat membuat keputusan. Hal tersebut sama sekali bukan karena kesengajaan dari para pihak yang bersengketa. Mahkamah Internasional memutuskan berdasarkan hukum. Akan tetapi, Mahkamah Internasional dapat memutuskan sengketa berdasarkan kepantasan dan kebaikan apabila pihak-pihak yang bersengketa menyetujuinya. Mahkamah Pidana Internasional Mahkamah pidana internasional berdiri permanen berdasarkan traktat multilateral. Tujuan mahkamah pidana internasional adalah untuk mewujudkan supremasi hukum internasional dan memastikan bahwa pelaku kejahatan berat internasional dipidana. Mahkamah pidana internasional dibentuk berdasarkan statuta Roma pada tanggal 17 Juli 1998 dan disahkan pada tanggal 1 Juli 2002. Tiga tahun kemudian, yakni pada tanggal 1 Juli 2005 statuta mahkamah pidana internasional telah diterima dan diratifikasi oleh 99 negara. Mahkamah pidana internasional berkedudukan di Den Haag, Belanda. Komposisi Pada awalnya mahkamah pidana internasional terdiri atas delapan belas orang hakim dengan masa jabatan sembilan tahun tanpa dapat dipilih kembali. Para hakim dipilih berdasarkan dua pertiga suara majelis negara pihak, terdiri atas negara-negara yang telah meratifikasi statuta ini pasal 36 ayat 6 dan 9. Paling tidak setengah dari mereka berkompeten di bidang hukum pidana dan acara pidana, sementara paling tidak, yang lainnya memiliki kompetensi di bidang hukum internasional, seperti hukum humaniter internasional dan hukum HAM Internasional pasal 36 ayat 5. Dalam pasal 36 ayat 8 dikatakan bahwa dalam memilih para hakim, negara pihak negara peserta/anggota harus memperhitungkan perlunya perwakilan berdasarkan prinsip-prinsip sistem hukum di dunia, keseimbangan geografis, dan keseimbangan jender. Dalam pasal 39 para hakim tersebut akan disebar dalam tiga bagian yakni praperadilan, peradilan, dan peradilan banding. Pasal 42 ayat 4 menjelaskan bahwa mayoritas absolut dari majelis negara pihak akan menetapkan jaksa penuntut dan satu atau lebih wakil jaksa penuntut dan satu atau lebih wakil jaksa penuntut dengan masa kerja sembilan tahun dan tidak dapat dipilih kembali. Dalam pasal 42 ayat 3 ditetapkan bahwa para penuntut tersebut harus mempunyai pengalaman praktik yang luas dalam penuntutan kasus-kasus pidana. Jaksa dapat bertindak atas penyerahan diri negara pihak atau Dewan Keamanan, dan dapat juga berinisiatif melakukan penyelidikan berdasarkan kehendak sendiri propio motu. Prinsip yang mendasar dari statuta nama adalah Mahkamah Pidana Internasional merupakan pelengkap bagi yurisdiksi pidana nasional pasal 1. Artinya, bahwa mahkamah harus mendahulukan sistem nasional. Apabila sistem nasional yang ada benar-benar tidak mampu dan tidak bersedia untuk melakukan penyelidikan atau menuntut tindak kejahatan yang terjadi, persoalan itu dapat diambil alih di bawah yurisdiksi Mahkamah pasal 17. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional Yurisdiksi yang dimiliki mahkamah pidana internasional untuk menegakkan aturan hukum internasional adalah memutus perkara terbatas pada pelaku kejahatan berat oleh warga negara dari negara yang telah meratifikasi statuta mahkamah. Dalam pasal 5–8 statuta Mahkamah terdapat tiga jenis kejahatan berat, yaitu sebagai berikut. Pertama adalah kejahatan genosida the crime of genocide, yakni tindakan kejahatan yang berupaya untuk memusnahkan keseluruhan atau sebagian dari suatu bangsa, etnik, ras ataupun kelompok keagamaan tertentu. Kedua adalah kejahatan terhadap kemanusiaan crimes against humanity, yakni tindakan penyerangan yang luas atau sistematis terhadap populasi penduduk sipil tertentu. Ketiga adalah kejahatan perang war crimes yakni kejahatan yang dapat diterangkan sebagai berikut. a Tindakan yang berkenaan dengan kejahatan perang, khususnya jika dilakukan sebagai bagian dari suatu rencana atau kebijakan atau sebagai bagian dari suatu rencana atau kebijakan atau sebagai bagian dari suatu pelaksanaan secara besar-besaran dari kejahatan tersebut. b Semua tindakan terhadap manusia atau hak miliknya yang bertentangan dengan Konvensi Jenewa, contohnya, pembunuhan berencana, penyiksaan, eksperimen biologis, atau menghancurkan harta benda. c Kejahatan serius yang melanggar hukum konflik bersenjata internasional. Contohnya menyerang objek-objek sipil bukan objek militer, membombardir secara mambabi buta suatu desa, atau penghuni bangunan-bangunan tertentu yang bukan objek militer. d Kejahatan agresi the crime of aggression, yakni tindak kejahatan yang berkaitan dengan ancaman terhadap perdamaian. Panel Khusus dan Spesial Pidana Internasional The International Criminal tribunals and Special Courts, ICT & SC Lembaga ini adalah lembaga peradilan internasional yang berwenang mengadili para tersangka kejahatan berat internasional yang bersifat tidak permanen, artinya setelah selesai mengadili peradilan ini dibubarkan. Dasar pembentukan dan komposisi penuntut dan hakim ad hoc ditentukan berdasarkan resolusi Dewan Keamanan PBB. Yurisdiksi atau kewenangan Panel Khusus dan Spesial pidana internasional ICT & SC menyangkut tindak kejahatan perang dan genosida tanpa melihat apakah negara dari si pelaku sudah meratifikasi statuta Mahkamah Pidana Internasional atau belum. Hal ini berbeda dengan Mahkamah Pidana Internasional yang yurisdiksinya berdasarkan pada kepesertaan negara dalam traktat multilateral tersebut. Perbedaan antara panel khusus pidana internasional dan panel spesial pidana internasional terletak pada komposisi penuntut dan hakim ad hoc-nya. Pada Panel khusus pidana internasional komposisi sepenuhnya ditentukan berdasarkan ketentuann peradilan internasional. Adapun pada panel spesial pidana internasional komposisi penuntut dan hakim ad hoc-nya merupakan gabungan antara peradilan nasional dan peradilan internasional. Contoh-contoh panel khusus pidana internasional dan panel spesial pidana internasional, antara lain adalah sebagai berikut. International Criminal Tribunal for Rwanda ICTR, yang dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB pada tahun 1994. International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia ICTY, yang dibentuk pada tahun 1993. Special Court for Irag SCI Toward a Trial for Saddom Hussein and Other Top Booth Leaders. Special Court for East Timor SCET. Special Court for Leone SCSL.[pi] Tagsperadilan internasional permanen yang berwenang mengadili kasus kejahatan genosida adalah pengadilan, sistem peradilan internasional, pengadilan internasional permanen yang berwenang mengadili kasus kejahatan genosida adalah pengadilan, peradilan internasional, peradilan internasional permanen yang berwenang mengadili kasus kejahatan genosida adalah, pengadilan internasional permanen yang berwenang mengadili kasus kejahatan genosida adalah, pengertian peradilan internasional, peradilan internasional permanen yang berwenang mengadili kasus kejahatan genosida
/Artikel /Tentang “Pengadilan HAM” Internasional 23/09/2014 Statuta dan praktek pengadilan Tokyo, Nuremberg, ICTY, ICTR, dan Statuta Roma adalah sumber hukum internasional terpenting yang memberikan sumbangan definitif terhadap apa yang disebut sebagai “international crimes” saat ini. Statuta Pengadilan Nuremberg dan Tokyo tahun 1945 lah yang pertama kali menguraikan kejahatan-kejahatan yang hingga saat ini dianggap sebagai tindak kejahatan internasional, yaitu kejahatan terhadap perdamaian crimes against peace, kejahatan perang war crimes, dan kejahatan terhadap kemanusiaan crimes against humanity. Selain itu, dalam pengadilan Nuremberg dan Tokyo inilah pertama kali dikenal konsep individual criminal responsibility. Berawal dari preseden yang disumbangkan oleh kedua pengadilan internasional itulah, pada tanggal 21 November 1947, pasca perang dunia kedua, PBB membentuk Komisi Hukum Internasional International Law Commission melalui Resolusi Majelis Umum PBB Komisi ini bertugas untuk menyusun sebuah standar hukum internasional yang menjadi pegangan setiap negara anggota PBB. Pada sessi pertemuan yang ke 48, yang berlangsung bulan Mei sampai Juli 1996, Komisi Hukum Internasional ini berhasil menyepakati untuk mengadopsi serangkaian norma-norma atau prinsip-prinsip hukum internasional yang terangkum dalam 20 pasal “Draft Code of Crimes Against Peace and Security of Mankind”. Dalam draft kodifikasi tersebut dinyatakan bahwa yang termasuk di dalam tindak “kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia” adalah kejahatan agresi pasal 16 –yang memberikan dasar bagi penjabaran lebih lanjut definisi command responsibility, kejahatan genosida pasal 17, kejahatan terhadap kemanusiaan pasal 18, kejahatan terhadap PBB dan personel-personelnya pasal 19, serta kejahatan perang pasal 20. Pengadilan internasional berikutnya yang memberikan sumbangan sangat penting dalam proses pendefinisian tindak pidana yang termasuk “kejahatan internasional” adalah Pengadilan Pidana Internasional untuk Negara Bekas Yugoslavia ICTY. Statuta ICTY memberikan sumbangan besar terhadap pengembangan konsep individual criminal responsibility dan command responsibility, dimana mereka yang dianggap bertanggung jawab pidana secara individu tidak hanya orang yang melakukan tapi juga yang memerintahkan melakukan tindak kejahatan ICTY pula yang memperkenalkan praktek penerapan command responsibility dalam pengadilan pidana. Pengadilan internasional lainnya, yaitu Pengadilan Internasional untuk Rwanda International Criminal Tribunal for Rwanda, ICTR yang dibentuk melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB no. S/RES/955 tahun 1994, dalam statutanya menyatakan bahwa lingkup kewenangan pengadilan tersebut adalah mengadili mereka yang bertanggung tindak kejahatan internasional yang masuk dalam yurisdiksi ICTR ini adalah genosida pasal 2; kejahatan terhadap kemanusiaan pasal 3; dan pelanggaran pasal 3 seluruh Konvensi-konvensi Geneva 1949 beserta Protokol tambahan II tahun 1977 pasal 4. Berikutnya pada tahun 1994, Draft Statute for an International Criminal Court, yang menjadi cikal bakal Statuta Roma, yang juga merupakan hasil kerja International Law Commission, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindak kejahatan internasional dan akan berada dalam yurisdiksi pengadilan pidana internasional adalah kejahatan Genosida, Kejahatan agresi, pelanggaran serius terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku saat pertikaian bersenjata, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan yang dilakukan berkaitan dengan perjanjian yang merupakan tindak kejahatan yang sangat serius yang bersifat internasional. Ketika Statute for an International Criminal Court Statuta Mahkamah Pidana Internasional yang kemudian lebih dikenal sebagai Statuta Roma akhirnya disepakati dalam International Diplomatic Conference di Roma pada tanggal 17 Juli 1998 disebutkan tindak-tindak kejahatan internasional adalah “kejahatan paling serius yang menyangkut masyarakat internasional secara keseluruhan” yaitu genocide, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Sumbangan penting lain dari Statuta Roma ini adalah pencantuman secara eksplisit bahwa kejahatan yang berupa serangan seksual sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Beberapa tindakan yang dapat dimasukkan dalam dua kategori ini adalah perkosaan, perbudakan seksual, prostitusi yang dipaksakan, kehamilan yang dipaksakan, sterilisasi yang dipaksakan, atau bentuk lain dari kekerasan seksual yang memiliki bobot yang setara equal gravity pasal 7 ayat 8 ayat 8 ayat Pencantuman secara detail dan eksplisit tindakan kejahatan seksual ini dalam yurisdiksi Mahkamah, merupakan sebuah penguatan yang kritis bahwa perkosaan dan bentuk serangan seksual lainnya dalam situasi tertentu merupakan tindak kejahatan paling serius yang menjadi perhatian internasional. Related Articles CSR & HAM CSR Risk Check Relasi Bisnis dan HAM Peran NHRIs dalam Menjamin Penghormatan HAM Partai Politik Alternatif dan Pemilu Konsolidasi Gerakan Sosial, Saatnya Rakyat Membangun Partai Politik Alternatif Menakar Kemungkinan Membangun Partai Politik Alternatif
Geneva – Negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa seyogianya segera bertindak untuk memastikan bahwa mereka yang melakukan berbagai tindak kejahatan kejam di Burma dimintai pertanggungjawaban, kata Human Rights Watch. Dewan Keamanan PBB perlu merujuk situasi di Burma ini ke Mahkamah Pidana Internasional ICC, dan pemerintah negara-negara yang turut prihatin seharusnya segera mengajukan resolusi PBB guna membentuk suatu Mekanisme Internasional, Imparsial, dan Independen IIIM agar dapat menyelamatkan bukti dan mendampingi proses penyelidikan sebagai dasar untuk melakukan penuntutan hukum terhadap mereka yang bertanggung jawab atas berbagai pelanggaran berat di Burma. Pada 27 Agustus 2018, tiga ahli dari Misi Pencari Fakta yang telah diberi mandat oleh PBB menerbitkan laporan yang mendokumentasikan berbagai pelanggaran oleh pasukan keamanan Burma terhadap populasi etnis Rohingya, termasuk tetapi tak terbatas kepada, pembunuhan, pemerkosaan, serta penyiksaan, dan menyimpulkan bahwa tindakan-tindakan ini dapat digolongkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Laporan ini juga menemukan bahwa terdapat penindasan dan diskriminasi yang sistematis sehingga termasuk dalam kategori persekusi, dan juga dapat digolongkan sebagai apartheid. Laporan ini juga menyimpulkan bahwa ada informasi memadai untuk menyelidiki para pejabat tinggi militer untuk menentukan apakah mereka bersalah atas tindak kejahatan genosida, dan mencantumkan nama enam komandan senior. Laporan ini juga menjabarkan berbagai pelanggaran yang dilakukan para militan Rohingya serta menyerukan agar mereka turut diadili. “Laporan bernas dari tim Misi Pencari Fakta serta sejumlah rekomendasi gamblang ini menunjukkan adanya kebutuhan nyata untuk mengambil langkah konkret demi memajukan peradilan pidana bagi tindak-tindak kejahatan keji, alih-alih menyuarakan kecaman dan ekspresi keprihatinan yang hampa belaka,” ujar Brad Adams, direktur Human Rights Watch untuk kawasan Asia. “Negara-negara anggota PBB seyogianya meningkatkan sejumlah upaya antara lain membentuk Mekanisme Internasional, Imparsial, dan Independen untuk memastikan bahwa mereka yang bertanggung jawab atas berbagai kejahatan berat tidak bebas dari proses peradilan.” Laporan setebal 20 halaman ini memuat temuan-temuan utama berdasarkan 847 wawancara, pencitraan satelit, dokumen-dokumen asli, sejumlah foto, dan video, serta melaporkan berbagai pelanggaran serius di Negara Bagian Rakhine, Shan, dan Kachine sejak 2011 hingga sekarang. Selain kejahatan-kejahatan yang didokumentasikan di Negara Bagian Rakhine, Misi Pencari Fakta menemukan bahwa kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang juga dilakukan oleh militer Burma di Negara Bagian Shan dan Kachin. Laporan ini juga merinci berbagai pelanggaran yang dilakukan kelompok-kelompok etnis bersenjata yang dapat digolongkan sebagai kejahatan perang. Laporan ini menyimpulkan bahwa pelanggaran-pelanggaran yang terjadi mencerminkan pola perilaku yang sudah lama dilakukan oleh aparat militer Burma dan menekankan perlunya mengakhiri siklus impunitas. Laporan ini mengimbau Mahkamah Pidana Internasional ICC untuk menggelar investigasi dan mengadili kasus-kasus dan mengusulkan kemungkinan pembentukan pengadilan khusus oleh Dewan Keamanan PBB, mirip dengan pengadilan yang dibentuk untuk mengadili pelanggaran-pelanggaran berat yang dilakukan di bekas Yugoslavia. Laporan ini juga memuat nama enam pejabat tinggi militer, termasuk Jend. Sen. Min Aung Hlaing, sebagai salah satu pihak yang bertanggung jawab atas “kegagalan untuk mengambil langkah-langkah yang perlu dan wajar demi mencegah dan menghukum tindak kejahatan, dan terdapat hubungan sebab akibat antara kegagalan-kegagalan ini dengan tindak kejahatan yang dilakukan.” Laporan ini menemukan bahwa meski pejabat sipil tak memiliki kewenangan untuk mengendalikan militer, mereka tetap berkontribusi melakukan kejahatan melalui berbagai tindakan dan kelalaian mereka. Laporan ini juga merekomendasikan agar negara-negara anggota PBB segera membentuk Mekanisme Internasional, Independen, dan Imparsial – serupa dengan IIIM Suriah – untuk mengumpulkan, mengevaluasi, dan menyimpan alat bukti guna membantu penyidikan dan penuntutan pidana terhadap kasus-kasus kejahatan yang dilakukan di Burma, termasuk oleh negara ketiga dengan menggunakan hukum yurisdiksi universal mereka. Mekanisme seperti ini seyogianya diberi mandat untuk mempertimbangkan tindakan-tindakan kejahatan hingga sekurang-kurangnya 2011, yakni periode waktu utama yang diliput dalam laporan Misi Pencari Fakta, menurut Human Rights Watch. Human Rights Watch telah mengimbau Dewan Keamanan PBB dan sejumlah negara yang prihatin terhadap situasi ini untuk memberlakukan embargo senjata dan sanksi khusus, termasuk larangan bepergian dan pembekuan aset, terhadap para komandan militer Burma yang terlibat dalam pelanggaran, dan merujuk situasi ini ke Mahkamah Pidana Internasional ICC. Secara terpisah, hakim-hakim di ICC sedang mempertimbangkan apakah mahkamah itu memiliki yurisdiksi terhadap pejabat tinggi Burma yang memaksa pengungsi Rohingya untuk melarikan diri ke Bangladesh, yang merupakan negara anggota ICC, sehingga termasuk ke dalam tindak kejahatan kemanusiaan dalam bentuk deportasi paksa. Sejak kampanye pembersihan etnis oleh militer Burma dimulai Agustus lalu, negara-negara dan lembaga multilateral – termasuk Amerika Serikat, Kanada, dan Uni Eropa – telah memberlakukan larangan bepergian dan sanksi keuangan terhadap sejumlah komandan dan unit pasukan keamanan Burma, serta beberapa individu yang terlibat dalam pelanggaran kejam, yang sebagian besar terjadi di Negara Bagian Rakhine. Meski sanksi-sanksi yang telah diterapkan ini penting, mereka tak dapat menggantikan penuntutan hukum di hadapan pengadilan yang kredibel, imparsial, dan independen, menurut Human Rights Watch. Dewan Hak Asasi Manusia PBB membentuk Misi Pencari Fakta PBB untuk urusan Burma pada Maret 2017 dikarenakan adanya tuduhan yang kredibel dan serius bahwa pelanggaran hak asasi manusia telah terjadi pada akhir 2016. Mandat misi ini adalah untuk “menetapkan fakta, peristiwa, dan situasi yang runut mengenai dugaan pelanggaran hak asasi manusia oleh pasukan militer dan keamanan, serta pelanggaran-pelanggaran lainnya, di Burma [...] dengan tujuan untuk memastikan akuntabilitas sepenuhnya bagi para pelaku dan keadilan bagi para korban.” Mandat tersebut kemudian diperpanjang setelah adanya pelanggaran meluas yang dimulai pada 25 Agustus 2017. Pemerintah Burma menolak untuk bekerja sama dengan Misi Pencari Fakta dan menolak memberi akses masuk kepada para ahli berikut staf mereka. “Sejauh ini, kecaman tanpa aksi nyata oleh negara-negara anggota PBB hanya memuluskan budaya kekerasan dan penindasan di Burma,” ujar Adams. “Laporan ini semestinya menghapuskan segala keraguan tentang pentingnya menyelidiki mereka yang bertanggung jawab untuk kejahatan massal. Sekarang waktunya untuk bertindak.” Latar Belakang Laporan Misi Pencari Fakta ini diterbitkan setahun setelah serangkaian serangan tanggal 25 Agustus 2017 oleh para tentara militan dari Tentara Pembebasan Rohingya Arakan ARSA, yang disusul dengan kampanye pembersihan etnis, pembunuhan, pemerkosaan, dan pembakaran massal yang dilakukan oleh pasukan keamanan Burma terhadap warga Rohingya. Human Rights Watch menemukan bahwa pelanggaran-pelanggaran tersebut dapat digolongkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Sejak Agustus 2017, lebih dari warga beretnis Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh, tempat 1 juta pengungsi Rohingya kini hidup di tenda-tenda kumuh, sesak, dan rawan banjir. Para pejabat PBB sebelumnya telah menyebutkan bahwa pelanggaran-pelanggaran di atas merupakan kejahatan kemanusiaan dan mengatakan bahwa pelanggaran-pelanggaran tersebut memiliki “tanda-tanda genosida.” Saat rangkaian operasi militer dimulai Agustus lalu, 362 desa-desa mayoritas warga Rohingya di wilayah utara Negara Bagian Rakhine telah sepenuhnya atau sebagian dihancurkan dengan pembakaran. Human Rights Watch mendokumentasikan penghancuran total maupun sebagian tersebut sejak November terhadap sedikitnya 60 desa-desa yang sebelumnya ditinggali oleh warga Rohingya, dengan demikian turut menghancurkan bukti-bukti kejahatan yang ada. Pada 2018, pengungsi Rohingya kembali melarikan diri ke Bangladesh, menambah daftar panjang represi yang dilakukan oleh aparat Burma. Human Rights Watch mendokumentasikan penyiksaan terhadap para pengungsi Rohingya yang telah kembali dari Bangladesh. Human Rights Watch, PBB, dan organisasi-organisasi lainnya selama bertahun-tahun telah mendokumentasikan berbagai pelanggaran hak asasi manusia di Negara Bagian Shan dan Kachin. Pertempuran meningkat di wilayah timur laut Burma dalam beberapa tahun terakhir dengan macetnya perjanjian gencatan senjata antara pihak pemerintah dan berbagai kelompok etnis bersenjata lainnya. Warga sipil yang telantar dan pelanggaran terhadap hukum perang kerap dilaporkan.
lembaga pbb yang berwenang mengadili pelanggaran ham internasional adalah